Setelah melihat berita di TVOne mengenai film Indonesia bertema perjuangan “Merah Putih” jadi terpikir dibenakku, ternyata sudah lama ya nggak menemui film-film perjuangan yang di era tahun ‘80-90an sedang ramai-ramainya yang diantaranya adalah film-film seperti Janur Kuning, Temon dll. Sebenarnya era kebangkitan Film Nasional sudah mulai terasa, namun kebanyakan masih berkisar dengan tema horror, remaja dan percintaan atau action. Babak baru dimulai dari salah satu insan film senior yaitu Dedy Mizwar, ketika idenya untuk me remake Film Naga Bonar yang dibintanginya dan ternyata sangat diterima oleh masyarakat kita. Kemudian muncul pula Garuda Di Dadaku yang juga bertema nasionalisme. Tema-tema tersebut sangatlah diperlukan diera globalisasi saat ini yang sudah penuh dengan infiltrasi budaya glamor dan lain sebagainya.
Kembali ke Film Merah Putih, Film yang rencananya akan dibuat trilogy tersebut diproduseri pengusaha Hasjim Djojohadikusumo, di klaim sebagai film berteknology canggih dan special efek yang bagus karena melibatkan tenaga ahli dari hollywood yang telah menghasilkan film-film berkualitas dan penggunaan senjata - yang sebagian merupakan sumbangan dari TNI dan peluru asli. Hal-hal itulah yang menyebabkan biaya produksi termasuk promosi dll yang sangat besar berkisar Rp. 60 milyar. Sebenarnya bukan angka yang besar untuk film sekelas film Hollywood.
Meskipun bertemakan perjuangan, namun film tersebut diakui sebagai film fiksi, sehingga nama-nama tokoh pejuang yang dulu bener-bener ada hanya ditampilkan sekilas. Film ini berfokus pada lima kadet yang mengikuti latihan kemiliteran di Jawa Tengah. Latar belakang kelimanya beragam suku dan agama. Suatu saat, tentara Belanda menyerang pusat latihan itu. Semua dibunuh, kecuali kelimanya yang berhasil meloloskan diri. Mereka lalu bergabung dengan gerilyawan yang dipimpin Jenderal Soedirman. Dalam perjalanan para tokoh, yang bergerilya dari Jawa Tengah ke Jawa Barat, mereka diceritakan sempat bersinggungan dengan tentara Darul Islam. Terjadi kontak senjata. Tapi, kedua pihak ternyata punya tujuan sama: membela Republik Indonesia. Sikap itu diambil sebagai pengingat, bahwa kita yang berkonflik pun punya tujuan mulia yang sama.
Bekerja dengan orang asing banyak juga pengalamannya, ujar sang Sutradara Yadi Sugandi, trik-trik special efek ternyata banyak yang tidak sulit dilakukan, hanya saja kita belum pernah mengetahuinya. Misalnya saja trik saat seorang pejuang berlari dengan peluru mengejar dibelakangnya. Mereka menggunakan pipa udara bertekanan yang ditanam didalam tanah, kemudian saat orang-orang berlarian, katub-katup pipa tersebut dibuka dan tampaklah seakan-akan peluru-peluru itu menembus tanah dan rerumputan. Selain itu kecanggihan teknologi barat dengan adanya remotisasi pada setiap pernik-pernik action yang detail, misalnya pada saat ada adegan ditembak, maka keluar darah pada lokasi penembakan tersebut yang seakan-akan benar-benar nyata. Padahal itu karena sudah diremote untuk memecahkan kantong-kantong darah pada bintang filmnya. Tidak seperti film-film disinetron kita, adegan penembakan dan peledakan hanya permainan gambar saja sehingga kesannya jadi lucu.
Film ini didukung Lukman Sardi (Amir), Donny Alamsyah (Tomas), Teuku Rifnu Wikana (Dayan), Darius Sinathrya (Marius), Zumi Zola (Soerono), Astri Nurdin (Melati, istri Amir) dan pendatang baru Rahayu Saraswati (Senja). Mereka melakoni skenario yang menonjolkan persahabatan dan percintaan dalam masa revolusi fisik. Tapi aspek yang paling mengemuka adalah rasa nasionalisme.
Film ini rencananya akan ditayangkan perdana pada tanggal 13 Agustus 2009, bertepatan dengan saat menjelang Hari Kemerdekaan bangsa Indonesia. Semoga mendapat sambutan yang sangat heboh dari pemirsa seperti halnya film KCB, Harry Potter dan film-film bagus lainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar